Lingkarkita.com – Kota Langsa | Dunia telah memasuki tahun kedua dalam berjuang melawan pandemi virus Covid-19. Adaptasi kebiasaan baru terus digencarkan pemerintah bagi seluruh warganya. Tak terkecuali Indonesia.
Sebagai provinsi paling barat, tentu Aceh juga tak ketinggalan untuk ikut patuhi protokol kesehatan (prokes). Pandemi harus serius diperangi, kerjasama masyarakat dan pemerintah harus selaras karena sama-sama butuh saling memberi dukungan.
Memakai masker, menjaga jarak dan rajin mencuci tangan banteng pertahanan awal. Menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan juga tak kalah penting, serta menjauhi keramaian adalah cara memutus mata rantai penyebaran virus covid-19.
Tahun ini adalah Idul Fitri kedua yang masih diselimuti wabah pandemi. Tradisi yang turun temurun dijalani wajib berubah, terutama yang menyangkut keramaian. Himbauan tak mudik, serasa begitu berat bagi sebagian orang.
Rohana (75), nenek warga Peureulak ini begitu sedih, karena telah dua kali idul fitri ia tak bisa bertatap langsung dengan anaknya diperantauan.
”Corona coroni, gak sanggup dengar lagi. Gara-gara dia banyak anak ngak bisa pulang kampung. Bagaimana kalau saya mati, ngak sempat anak-anak lihat” ucapnya kepada lingkarkita.com, Kamis (13/5/2021).
Rohana mengaku memiliki banyak anak yang biasanya akan berkumpul dimomen Idul Fitri. Sebagian anaknya menetap di luar negeri, Jakarta dan sekitar wilayah Aceh.
Raja (43) anak Rohana lewat sambungan video call mencoba menenangkan sang Ibu yang bersedih karena tak bisa bertemu langsung dengan buah hatinya.
“Mak, pemerintah melarang mudik juga demi kebaikan kita. Apalagi wabah covid masih ada, di India juga malah tambah banyak. Kami anak-anak mendoakan mamak sehat terus, jangan pikir yang macam-macam. InshaAllah kita bisa jumpa tahun depan, yang penting kesehatan kita jaga” ujarnya yang disambut anggukan Rohana. Sang Ibu juga bersenda gurau bahwa anaknya selama covid semakin terlihat putih dan gemuk.
Kesedihan Rohana sebagai Ibu tentu dirasakan hampir semua orang tua yang anaknya merantau. Lebaran dijadikan momen setahun sekali untuk bersilaturahmi, meluapkan rasa rindu. Sementara disaat pandemi, video call adalah satu-satunya solusi.
Ulfa (33) ibu rumah tangga yang menetap di Banda Aceh mengambil hikmah tak mudik ke kampung halamannya di Langsa. Terutama dalam hal pengiritan keuangan.
“Kita ikuti larangan mudik karena tentu itu yang terbaik. Jadi dua tahun ini kami bisa lebih banyak menabung. Hikmahnya, kirim uang ke kampung juga lebih banyak dan tentu orang tua tambah senang.
Sisi lain kita para emak jadi bisa beli baju yang mahalan dikit bahkan bisa banyak” tuturnya saat berkomunikasi via chat wa sambil tertawa renyah, Minggu (16/5/2021).
Diakui Ulfa, setiap mudik tentu memerlukan anggaran besar sehingga yang bisa ditabung juga sangat bermanfaat.
Senada dengan Ulfa, Sari (35) yang merantau dan menetap di Jambi juga menuturkan banyak hikmah dari tidak mudik ke tanah kelahirannya di Langsa.
“Alhamdulillah selain bisa lebih banyak bersedekah dan berbagi ke saudara-saudara, sisanya bisa untuk tabungan. Jadi kedepan persiapan lebih matang jika sewaktu-waktu ada kejadian mendesak atau ada rencana mudik usai pandemi. ” ungkapnya via chat wa kepada lingkarkita.com, Minggu (16/5/2021).
Meluapkan rasa rindu tentu tak melulu harus bertemu. Bagi Sari, tak mudik pilihan tepat karena ada yang lebih penting harus diwaspadai dan tak boleh ditawar, yaitu kesehatan.
“Pemudik itu dari berbagai daerah, saat ini kita rapid negatif tapi bisa jadi dalam perjalanan dan di persinggahan terpapar virus. Terlebih kita tidak tahu seberapa steril tempat yang kita singgahi,” sebut Sari.
“Jika kita sampai di kampungpun, kita tidak tahu sedisiplin apa keluarga kita dalam menerapkan prokes sehari hari. Sehingga menahan diri untuk sementara waktu sampai pandemi ini berakhir adalah pilihan yang benar sekali,” kata Sari.
Sebagai perantau yang telah dua tahun tidak mudik, ibu dari tiga anak ini mengaku bahwa selama wabah pandemi,ia dan suami benar-benar mematuhi anjuran pemerintah. Mematuhi prokes terutama jaga jarak. Meski terkadang mendapat stigma negatif tetangga, namun tak dihiraukannya.
“Wilayah kami zona merah, kadang sebagian orang tidak paham, seolah kami sombong. Biarlah orang berkata apa, yang terpenting saat ini kami sehat. Lambat laun tetangga juga mengerti. Kini kami lebih memilih bersilaturahmi secara virtual” pungkasnya.
Seringkali indahnya lebaran dianggap sebagai momen berkumpul dan bersilaturahmi bersama keluarga. Tradisi mudik bertahun-tahun dilakoni dan barulah setelah wabah pandemi ternyata ada sisi keindahan lain yang ditemui.
“Selain lebih bisa menabung, juga lebih aman dari kemungkinan kecelakaan. Tahu sendiri kan gimana padatnya perjalanan saat mudik. Sehingga dengan sedikit bertemu orang, maka semakin kecil kemungkinan terpapar covid. Mengurangi kemungkinan sakit karena kelelahan di jalan dan mengurangi menjadi target kejahatan di jalan,“ terang Rizki (29) , warga Langsa kepada lingkarkita.com, Minggu (16/5/2021)
Jika Rizki yang memiliki kampung halaman di Palembang memilih tak mudik dengan alasan tersebut, Iwan (46), warga Lampung mengungkap alasan unik lainnya.
“Bisa nabung, ngak payah keluar ongkos sama jajan, ngak capek di jalan dan ngak ribet ketemu mantan dikampung,” tuturnya sambil berkelakar melalui chat wa kepada lingkarkita.com, Minggu (16/5/2021).
Ternyata berlebaran tanpa mudik memiliki sisi indah untuk dilirik. Karena ada hikmah positif dari setiap peristiwa buruk yang terjadi di dunia ini, termasuk pandemi.
Data terakhir terkonfirmasi kasus covid-19 di Aceh positif 12152, sembuh 10250 dan meninggal 487 sebagaimana di lansir dari kompas.com, Kamis (13/5/2021).
Maka dengan data yang menunjukkan terus bertambah pasien terkonfirmasi covid, sudah selayaknya kita tetap mematuhi prokes dan mengikuti himbauan pemerintah demi kebaikan bersama.
Mudik adalah tradisi turun temurun, namun tak mudik bukan berarti pilihan pahit. Karena bila harus mudik, namun beresiko terpapar Covid-19 dan jatuh sakit tentu lebih tak asyik.
Penulis: Sherly Maidelina