Lingkarkita.com, Amerika – The Washington Post, media ternama asal Amerika Serikat, mengungkap hasil investigasi mereka tentang insiden mengerikan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Peristiwa yang kini disebut sebagai ‘Tragedi Kanjuruhan’ itu telah mengakibatkan tewasnya 131 orang pada Sabtu (1/10/2022) malam, dan menjadikannya sebagai catatan hitam pada sejarah Indonesia. Peristiwa paling mematikan nomoe 2 sepanjang sejarah sepak bola dunia itu juga telah mendorong investigasi bagi media internasional.
Investigasi ini dirilis dalam judul headline “How police action in Indonesia led to a deadly crush in the soccer stadium” atau “Bagaimana tindakan polisi di Indonesia mengakibatkan insiden mematikan di stadion sepak bola” dalam Kamis (6/10/2022).
Dalam investigasi tersebut, rentetan secara besar-besaran amunisi gas air mata yang ditembakkan polisi Indonesia ke arah penggemar atau suporter sepak bola menjadi pemicu insiden fatal yang menewaskan sedikitnya 130 orang.
Sedikitnya, ada sebanyak 40 kali penembakan amunisi gas air mata dan bom asap ke arah kerumunan penonton pada rentang waktu 10 menit yang membuat para suporter berbondong-bondong mengalir ke arah pintu keluar stadion.
Polisi Indonesia juga dianggap melanggar protokol nasional dan panduan keamanan internasional untuk sebuah pertandingan sepak bola.
The Washington Post turut mengungkap 40 amunisi yang dipakai polisi Indonesia mencakup gas air mata, flashbang dan flare. Akibat rentetan tembakan amunisi itu, para suporter jatuh dan terinjak-injak hingga tewas akibat tertimpa tembok dan gerbang logam lantaran beberapa pintu keluar terkunci, menurut penyelidikan.
Tinjauan tadi adalah hasil pemeriksaan dilebih dari 100 video dan foto yang beredar luas, wawancara dengan 11 saksi korban dan analisis oleh ahli atau pakar pengendalian massa serta pembela hak-hak sipil.
The Washington Post mengungkap bagaimana penggunaan gas air mata oleh polisi saat menghadapi beberapa ratus suporter yang memasuki lapangan dan mengakibatkan kerugian yang besar.
Gelombang mengerikan terjadi di ujung selatan stadion Kanjuruhan, dimana para korban yang selamat mengatakan sebagian besar adalah lokasi kematian yang paling banyak terjadi. Beberapa pintu keluar terkunci, kata saksi mata, dan hal itu semakin memicu kepanikan.
Hal tadi juga telah dikonfirmasi Presiden Jokowi, yang sudah memerintahkan peninjauan keamanan stadion di Indonesia.
Hingga Kamis, para pejabat mengatakan 131 orang yang meninggal, termasuk 40 diantaranya anak-anak. Kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International Indonesia, mengungkapkan jumlah korban di Kabupaten Malang, Indonesia bahkan mencapai 200 orang korban.
Pemerintah Indonesia sudah menyerukan penyelidikan atas peristiwa tadi, yang merupakan adalah salah satu bencana kerumunan paling mematikan yang pernah tercatat sepanjang sejarah.
Sementara pejabat kepolisian setempat justru berkata penggunaan gas air mata dibenarkan lantaran terindikasi “ada anarki,”. Namun, para pakar pengendalian massa yang meninjau rekonstruksi video yang disediakan oleh The Post tak setuju mengenai hal itu.
Tanggapan polisi tersebut dianggap telah melanggar protokol Persatuan Sepak Bola (FA) yang menyatakan bahwa seluruh pertandingan wajib mematuhi ketentuan keamanan yang sudah ditetapkan oleh FIFA, yakni badan pengatur sepak bola dunia.
FIFA secara tegas melarang penggunaan “gas air mata sebagai pengendali massa” digunakan di dalam stadion. FIFA juga mengamanatkan bahwa gerbang keluar dan pintu keluar darurat tidak boleh terhalang atau tertutup setiap saat.
Video yang disediakan secara eksklusif memperlihatkan bahwa polisi, tak lama sehabis pertandingan berakhir, telah menembakkan setidaknya 40 kali amunisi tak mematikan ke arah penggemar, baik di lapangan maupun di tribun.
Sebagian besar gas air mata melayang menuju bagian tempat duduk penonton, atau tribun nomor 11, 12 dan 13.
Polisi yang bertugas berdiri di sektor 13 bahkan menembakkan gas air mata ke arah lapangan dan tribun penonton, yang menyebabkan ribuan penonton kalang kabut meninggalkan tempat duduk mereka. Hal ini berdasarkan video yang beredar.
Tindakan polisi, menurut saksi mata, menyebabkan kemacetan padat suporter Arema menuju pintu keluar, yang hanya lebar cukup untuk dilewati satu atau dua orang saja.
Clifford Stott , Profesor dan dari Keele Universitas di Inggris, yang mempelajari tugas kepolisian penggemar olahraga, meninjau video yang menunjukkan situasi di Stadion Kanjuruhan.
Ia mengatakan apa yang terjadi di Kanjuruhan adalah akibat langsung dari tindakan polisi yang dikombinasikan dengan keburukan dari manajemen stadion.
Clifford Stott bersama dengan pakar pengendalian massa lainnya dan empat aktivis pembela hak-hak sipil, mengatakan penggunaan gas air mata oleh polisi tidak proporsional.
“Menembakkan gas air mata ke tribun penonton dengan pintu terkunci, kemungkinan besar tidak akan menghasilkan apa-apa selain korbannya jiwa yang besar. Dan itulah yang terjadi,” kata Stott.
Sementara itu, Kapolres Malang dan sembilan petugas lainnya lansung dipecat pada Rabu (5/10/2022) atas peran mereka dalam peristiwa bencana tersebut. Sementara 18 petugas lainnya juga sedang diselidiki.
Sumber: Suara.com