Penulis: Fitri ulfia, Devi Marini
Indonesia dengan keaneka ragaman budaya dikenal oleh dunia lewat berbagai karya seni yang perlu dikembangkan dan dilestarikan. Salah satu seni kerajinan yang berkembang di Indonesia adalah kerajinan menganyam tikar yang berbahan baku pandan duri.
kerajinan ini berkembang di beberapa wilayah Indonesia termasuk wilayah Aceh, di daerah ini dikenal dengan sebutan “Mayum Tika Seuke”.
Mayeum Tika seuke (Dalam bahasa Aceh) disebut juga dengan menganyam tikar daun pandan berduri, anyaman tikar ini salah satu kerajinan tradisional khas Aceh yang dibuat secara dianyam yang berbahan baku daun pandan berduri atau dalam bahasa Aceh disebut dengan “seuke” motif dan ukuran dari tikar ini sangat lah beragam. Menganyam tikar dari pandan adalah aktivitas yang membutuhkan ketelatenan, tempat yang memadai juga tenaga dan waktu yang lama.
Mayeum tika seuke ini sudah menjadi adat turun-menurun yang dilestarikan sebagai kearifan lokal oleh masyarakat setempat. Menjaga warisan budaya menjadi keharusan bagi setiap generasi kegenerasi. Kita tidak pernah tahu sampai kapan tikar pandan dikenal oleh generasi muda. Kita juga tidak tahu berapa banyak generasi muda yang mampu menganyam tikar pandan dengan baik. Anyaman tikar pandan juga menjadi sumber mata pencaharian bagi sebagian besar ibu-ibu setempat guna membantu perekonomian keluarga.
Anyaman tikar pandan menjadi salah satu produk unggulan di Desa Seumatang Muda Itam, Kecamatan Peureulak Aceh timur, Aceh dikarenakan bahan baku daun pandan berduri sangat melimpah di desa ini. Penganyam tikar didesa ini rutin memproduksi Tika seuke (Tikar Pandan). Mereka mudah mendapatkan bahan baku daun pandan berduri dikarekan jenis tumbuhan ini banyak tumbuh di daerah pesisir pantai. Tikar pandan tergolong kerajinan tangan yang membutuhkan waktu lama untuk menganyamnya.
Menganyam tikar sudah dikenal sejak jaman dahulu. Dahulu tikar-tikar ini di pergunakan untuk keperluan sehari-hari dari menjadi tempat tidur, tempat duduk, hingga untuk menunggu tamu di karenakan masa itu tak adanya tikar moderen, bahkan tikar tikar ini banyak di jumpai sebagai tempat duduk dimasa kerajaan Aceh.Namun sayang keberadaan tikar tradisional ini sudah mulai sedikit peminatnya.
Salah satu pengrajin anyaman tikar seuke di desa ini mangatakan bahwa dalam proses Mayeum Tika seuke (menganyam tikar pandan berduri) ini bukan suatu hal yang mudah mulai dari proses menyiapkan bahan baku daun pandan mentah yang di ambil sendiri dikarenakan tumbuh secara alami di desa setempat. Setelah membuang duri Nya, kemudian menyisir halus sesuai kebutuhan, lalu direbus. Selanjutnya direndam air sampai tiga hari serta dijemur sampai kering hingga berwarna putih.

Tahapan berikutnya untuk membuat berbagai motif anyaman, maka bahan baku yang sudah dipersiapkan tersebut diberi pewarna sesuai Yang diinginkan. Warga desa setempat menyebutnya malo (pewarna) yang dicampur dalam air mendidih lalu dijemur hingga kering. Setelah semua proses selesai, daun pandan siap untuk dianyam. Anyamannya sesuai dengan selera dan kreativitas masing-masing. Tikar anyaman ini dibuat berbagai jenis ukuran, mulai dari ukuran Kecil, sedang hingga besar. Harganya pun sangat bervariasi dan tergantung motif yang digunakan mulai dari Rp150-500 per lembarnya. Dalam satu lembar tikar bisa menghabiskan waktu kurang lebih satu Minggu.
Hasil anyaman tikar tersebut tidak dipasarkan sendiri, biasanya diambil oleh pengumpul dan selanjutnya dipasarkan ke beberapa daerah yang ada di Aceh.
Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Langsa