
Lingkarkita.com, Jakarta – Lebih dari 15 ribu ilmuwan mengungkapkan bahwa bencana “kiamat” perubahan iklim yang kian memburuk. Mereka memperingatkan kehidupan Bumi terancam karena kejadian tersebut.
Mereka ikut menandatangani sebuah makalah yang diterbitkan jurnal BioScience. Menurut mereka dampak dari kejadian ini membuat bencana global besar pada akhir abad.
“Selama beberapa dekade, para ilmuwan secara konsisten memperingatkan masa depan yang ditandai dengan kondisi iklim ekstrem karena meningkatnya suhu global yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang melepaskan gas rumah kaca berbahaya ke atmosfer,” tulis makalah tersebut, dikutip dari Futurism, beberapa waktu lalu.
“Sayang, waktunya sudah habis,” imbuh penelitian tersebut.
Sementara itu, Christopher Wolf yang merupakan salah satu penulis studi menyebut makalah menuliskan strategi mitigasi yang besar atas masalah perubahan iklim. Dia juga mengungkapkan sekarang umat manusia menuju proses runtuhnya sistem alam dan sosial ekonomi.
“Kita sedang menuju potensi runtuhnya sistem alam dan sosial-ekonomi dan dunia dengan panas yang tak tertahankan dan kekurangan sumber daya alam, makanan dan air bersih,” kata peneliti pascadoktoral Oregon State University (OSU) itu.
Dalam studi menunjukkan banyak rekor iklim yang dipecahkan dengan margin besar selama tahun lalu. Misalnya musim kebakaran hutan yang sangat aktif di Kanada, yang menurut mereka, kejadian itu menunjukkan titik kritis menuju pada rezim kebakaran baru.
Tahun ini juga membawa pola yang mengkhawatirkan, ungkap Profesor kehutanan terkemuka di OSU, William Ripple. “Kami juga hanya menemukan sedikit kemajuan yang bisa dilaporkan terkait upaya umat manusia dalam memerangi perubahan iklim,” kata Ripple yang juga menulis penelitian tersebut.
Mereka dan ribuan tanda tangan peneliti lainnya juga menyinggung soal subsidi bahan bakar fosil yang jadi salah satu akar masalah perubahan iklim. Periode 2021 dan 2022, terdapat peningkatan dua kali lipat, dari US$531 miliar menjadi lebih dari US$1 triliun hanya di Amerika Serikat saja.
Peringatan kiamat PBB untuk RI
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga secara khusus memberikan peringatan untuk wilayah Asia, termasuk Indonesia terkait dampak pemanasan global dan perubahan iklim.
Laporan lembaga PBB, Badan Meteorologi Dunia (WMO) yang bertajuk ‘State of the Climate in Asia 2023’, menyoroti laju percepatan indikator perubahan iklim utama seperti suhu permukaan, pencairan gletser, dan kenaikan permukaan air laut.
WMO mengatakan Asia menjadi kawasan yang paling banyak dilanda bencana alam akibat perubahan iklim. Benua ini mengalami pemanasan lebih cepat dari rata-rata global.
Bahkan, trennya meningkat hampir dua kali lipat sejak periode 1961-1990. WMO mencatat banyak negara di Asia mengalami tahun terpanas sepanjang sejarah pada tahun 2023.
Hal itu beriringan dengan kondisi ekstrem, mulai dari kekeringan dan gelombang panas hingga banjir dan badai.
Perubahan frekuensi iklim dan tingkat keparahan peristiwa tersebut, berdampak besar pada masyarakat, ekonomi, dan yang terpenting, kehidupan manusia dan lingkungan tempat makhluk hidup tinggal.
Pada tahun 2023, total 79 bencana yang terkait dengan bahaya hidrometeorologi dilaporkan di Asia, sebagaimana dilaporkan pula oleh Emergency Events Database.
Dari jumlah tersebut, lebih dari 80% terkait dengan peristiwa banjir dan badai, dengan lebih dari 2.000 korban jiwa dan sembilan juta orang terkena dampak langsung.
Panas ekstrem juga menjadi laporan lain. Meskipun risiko kesehatan yang ditimbulkan semakin meningkat, penduduk Asia masih beruntung karena tidak ada kematian yang dilaporkan.
“Sekali lagi, di tahun 2023, negara-negara yang rentan terkena dampak yang tidak proporsional. Sebagai contoh, topan tropis Mocha, topan terkuat di Teluk Benggala dalam satu dekade terakhir, menghantam Bangladesh dan Myanmar,” kata Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik (ESCAP), Armida Salsiah Alisjahbana yang menjadi mitra dalam penyusunan laporan WMO.
Dalam laporan yang sama juga dimuat bagaimana kenaikan permukaan laut dari Januari 1993 hingga Mei 2023. State of the Climate in Asia 2023 juga memberikan data indikasi kenaikan air laut yang meliputi wilayah Indonesia.
Tercatat, banyak area mengindikasikan Global Mean Sea Level (GMSL) di atas rata-rata global yakni 3,4 atau ± 0,33 mm per tahun. Indonesia sendiri berada di wilayah berwarna kuning yang mengindikasikan peringatan.
Sebelumnya, kajian proyeksi USAID di 2016, menyebutkan kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada tahun 2050. Ini berarti terdapat 42 juta penduduk berisiko kehilangan tempat tinggalnya.
Berdasarkan laporan ini, terbukti petaka perubahan iklim dan pemanasan global memiliki dampak nyata bagi kehidupan manusia. Untuk itu, perlu dilakukan upaya kolektif untuk meredam laju perubahan iklim.
Sumber: CNBC Indonesia