Beranda Budaya Gala Premiere “17 Surat Cinta” Sukses digelar di Lhokseumawe

Gala Premiere “17 Surat Cinta” Sukses digelar di Lhokseumawe

78
0
BERBAGI
Gala Premiere Film dokumenter "17 Surat Cinta" sukses diputar serentak di sejumlah wilayah Indonesia salah satunya di Kota Lhokseumawe. (Foto : Ist)

Lingkarkita.com, Lhokseumawe – Gala Premiere Film dokumenter “17 Surat Cinta” sukses diputar serentak di sejumlah wilayah Indonesia salah satunya di Kota Lhokseumawe, pada Minggu (17/11/2024). Film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono ini mengajak penonton menjelajahi sisi lain dari perlindungan lingkungan di Aceh hingga Papua dan mempertanyakan efisiensi penetapan wilayah konservasi dalam menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayatinya dari ancaman deforestasi.

Dokumenter ini dibuat oleh Ekspedisi Indonesia Baru yang bekerjasama dengan berbagai organisasi lingkungan seperti Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Yayasan HAkA, Greenpeace Indonesia dan Pusaka Bentala Rakyat. Ketua Pembina Yayasan JINOE, Ramadhan, S.Sos, menyampaikan rasa terima kasih danapresiasi atas kepercayaan yang diberikan kepada Yayasan JINOE sebagai mitra lokal dalam pelaksanaan Gala Premiere “17 Surat Cinta” di Kota Lhokseumawe.

Gala Premiere Film dokumenter “17 Surat Cinta”. (Foto : Ist)

“Kami merasa bangga dapat terlibat dalam kegiatan ini. Acara ini bukan hanya mediaedukasi yang sangat efektif untuk meningkatkan kesadaran generasi muda, namun jugamembuka mata banyak orang tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan di Aceh untukgenerasi mendatang,” kata Ramadhan.

Ia juga mengungkapkan bahwa antusiasme masyarakat Lhokseumawe terhadap Gala Premiere ini sangat tinggi. Awalnya, hanya menyediakan seratus kursi. Namun antusiasme peserta begitu besar hingga jumlah yang hadir mencapai 150 orang yang berasal dari lebih 25 komunitas anak muda di Lhokseumawe dan Aceh Utara.

“Ini menunjukkan betapa banyak orang yang peduli dan ingin belajar lebih jauh tentang isu deforestasi,” jelas Ramadhan. Ia berharap melalui dokumenter ini dapat mendorong aksi nyata dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun generasi muda, untuk lebih peduli dan bertindak dalam upaya menjaga hutan sebagai warisan yang tak ternilai.

Sementara itu juru Kampanye Yayasan HAkA, Raja Mulkan, menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Aceh terjadi secara terstruktur dan terorganisir. Saat ini, deforestasi yang sangat marak terjadi yaitu di Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil. Harusnya SM Rawa Singkil menjadi hutan terlarang yang haram untuk dieksploitasi dan dialihfungsikan.

Gala Premiere Film dokumenter “17 Surat Cinta” sukses diputar serentak di sejumlah wilayah Indonesia salah satunya di Kota Lhokseumawe. (Foto : Ist)

Film 17Surat Cinta ini menggambarkan bagaimana hutan-hutan yang sakral seperti hutan konservasi dan hutan masyarakat adat yang luasnya hanya sedikit juga dihancurkan, Seolah-olah yang hidup di bumi ini hanya manusia saja.

“Dengan adanya Film 17 Surat Cinta ini, anak muda, masyarakat dan pemerintah harus lebih peka dengan persoalan lingkungan yang terjadi di Aceh. Anak muda harus menjadi garda terdepan dalam menyuarakan persoalan lingkungan di Aceh khususnya deforestasi yang sedang menimpa SM Rawa Singkil,” kata Raja.

Menurut Ardi Mansyah, tim Advokasi Pemuda Pembela Lingkungan Hidup (P2LH), Apa yang terjadi di SM Rawa Singkil merupakan kejahatan lingkungan yang negara pertontonkan, bahwasanya oligarki bisa tumbuh subur di negeri ini. Padahal negara sudah menetapkan daerah tersebut sebagai wilayah Suaka Margasatwa.

Akan tetapi ketika terjadi perambahan, pemangku kebijakan dalam hal ini BKSDA tidak menindak pelaku perambah SM Rawa Singkil tersebut. Salah satu peserta, Almuzakki, mahasiswa dari Lhokseumawe, mengungkapkan, Film ini benar-benar membuka wawasan bagi dirinya tentang betapa parahnya kondisi deforestasi di Indonesia.

“Saya tidak menyangka bahwa hutan-hutan yang seharusnya dilindungi justru dihancurkan. Ini membuat saya merasa terpanggil untuk lebih aktif dalam kampanye pelestarian lingkungan. Kita semua harus berperan dalam menjaga warisan alam untuk generasi mendatang,” ujar Almuzakki.

Hal senada disampaikan peserta lainnya, Intan. Ia bahkan merasa terlambat untuk mengetahui dan peduli mengenai masalah kehutanan yang sangat dekat dengan kesehariannya. “Saya cukup sedih melihat realita yang disajikan melalui dokumenter ini. Sejak kecil, ayah saya mengajarkan untuk mencintai hutan dengan cara unik, yaitu melakukan penanaman pohon untuk merayakan hari ulang tahun saya,” terang Intan.

Namun, ketika ia menyaksikan bagaimana hutan dibabat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan pemerintah tidak melakukan penindakan, ia merasa sedih dan geram. Dengan semangat ini, diharapkan dokumenter “17 Surat Cinta” bisa menjadi langkah awal bagi banyak orang untuk lebih peduli dan beraksi dalam melestarikan hutan Indonesia. (Ril)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here