Lingkarkita.com, Kota Langsa – Munculnya isu kebijakan pemerintah yang memperkenankan perwira TNI dan Polri menjadi kepala daerah, hal tersebut membuat kekhawatiran bagi mahasiswa khususnya Aliansi Aktivis Merdeka (ALASKA).
Presidium Aliansi Aktivis Merdeka (ALASKA) Abdi Maulana kepada lingkarkita.com, melalui pernyataan tertulis, Selasa (28/12) mengatakan, wacana ini berkembang menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada tahun 2024 mendatang.
Ia menyebut, kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benni Irawan mengatakan terkait hal tersebut pemerintah berpatokan pada peraturan penunjukan kepala daerah berdasarkan pasal 201 UU nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota untuk mengisi kekosongan jabatan pada tahun 2022 hingga 2024.
Mengenai peluang perwira TNI dan Polri yang bisa menduduki posisi kepala daerah tersebut, kata Abdi Maulana, Benni mengungkapkan semuanya masih mengacu pada pasal yang sama. Dalam ayat 10 dan 11 undang-undang tersebut menyatakan bahwa pejabat gubernur berasal dari pimpinan tinggi madya dan pejabat seperti bupati ataupun wali kota dari pimpinan tinggi pratama.
“Dengan kesempatan yang diberikan pemerintah kepada perwira TNI dan Polri untuk menduduki jabatan kepala daerah, hal ini mengingatkan pada kebijakan ketika masa orde baru yang mana terdapat istilah Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia),” ujarnya.
Dikatakan, dwifungsi ABRI merupakan sebuah doktrin dan kebijakan politik yang mana mengatur fungsi ABRI dalam tatanan kehidupan bernegara.
“Seperti namanya, dwifungsi yaitu selain menjalankan perannya menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia, ABRI juga dapat memegang kekuasaan dan mengatur Negara,” kata Abdi Maulana.
Ia menyebut, salah satu dampak negatifnya ialah tidak transparannya sistem pemerintahan di Indonesia pada masa orde baru dan dikhawatirkan akan mengembalikan pemerintahan yang otoriter seperti masa order baru.
Kemudian, sambung Abdi, dwi fungsi ABRI telah dihapus dan itu tidak boleh terulang kembali.
“Oleh sebab itu kami meminta kebijakan tersebut agar ditinjau kembali dan perihal di atas menjadi acuan dan referensi kepada pemerintahan yang ada di pusat agar menghindari pertumpahan darah sesama anak bangsa dan menghindari gejolak gelombang amarah mahasiswa,” katanya.
Abdi menjelaskan, karena hal ini tidak sesuai dengan semangat reformasi, sejarah mencatat, salah satu poin tuntutan massa pada aksi reformasi 1998 adalah menghapuskan dwifungsi ABRI.
“Terbukti masuknya militer ke ranah sipil telah menciderai HAM masyarakat sipil. Sehingga penghidupan kembali fungsi yang telah lama terkubur ini adalah suatu pengkhianatan pada cita-cita reformasi,” Imbuh Abdi Maulana yang juga demisioner sekretaris umum HMI Cabang Langsa itu. (wan)